1. Perlu diperhatikan upaya internasional dalam menanggulangi
cyber crime itu sendiri sehingga terjadi sinergi antara kiat-kiat yang
dilakukan untuk menanggulanginya baik secara nasional, regional maupun
internasional. Dalam Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer-related
crimes, mengajukan beberapa kebijakan yang antara lain menghimbau
negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penaggulangan
penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan
langkah-langkah sebagai berikut :
- Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana.
- Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer.
- Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer.
2.
Dalam rangka mengejawantahkan seruan internasional dalam
menaggulangi cyber crime tersebut, hal-hal menyangkut pidana substantif
yang perlu diubah adalah konsep pertanggung jawaban pidana. Seperti yang
diutarakan di atas bahwa pada prinsipnya pertanggungjawaban dalam hukum pidana
adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability base on fault).
Akan tetapi dalam kaitannya dengan penaggulangan cyber cirme, khusus
perlindungan terhadap sistem keamanan komputer oleh lembaga penyedia jasa
internet atau pejabat/petugas yang diembani tugas tersebut, selain liability
base on fault terhadap para pelaku, perlu dipikirkan kemungkinan
pertanggungjawaban ketat (strict liability).
3.
Masih dalam kaitannya dengan pidana subtantif, sambil
menunggu cyber law yang lebih komprehensif, kiranya perlu dilakukan
penambahan beberapa ketentuan dalam KUHP yang menyangkut pencurian, penipuan,
pemalsuan maupun perusakan untuk menanggulangi cyber crime yang modus
operandinya tiap kali berkembang. Banyak negara telah menempuh hal yang
demikian, antara lain Belanda, Canada, Denmark, Finlandia, Italia, Jerman,
Perancis dan Yunani. Namun ada beberapa negara yang membuat undang-undang
khusus berkaitan dengan komputer, seperti Israel dan Inggris.
4. Dalam menyusun cyber
law yang berkaitan dengan penaggulangan cyber crime, kiranya dapat
membandingkan dengan draft Konvensi Cyber Crime yang dihasilkan oleh European
Committee on Crime Problems Beberapa kata kunci yang menarik untuk disimak,
antara lain Illegal access,Illegal interception, Data interference, System
interference, Misuse of devices, computer-related forgery dan computer-related
fraud.
5.
Data elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.
Selain itu apabila kita merujuk kepada 5 alat bukti yang sah sebagaimana yang
telah diuraikan di atas, satu-satunya
alat bukti yang cukup kuat dalam hal pembuktian di pengadilan terhadap perkara cyber
crime adalah keterangan ahli. Sayangnya berdasarkan KUHAP, petunjuk hanya dapat diperoleh sebagai alat
bukti jika berasal dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa, tidak
termasuk keterangan ahli. Oleh sebab itu dalam revisi KUHAP atau
setidak-tidaknya dalam hukum acara yang berkaitan dengan cyber crime,
perlu ditambahkan bahwa petunjuk sebagai alat bukti juga bisa diperoleh hakim
dari keterangan ahli. Bahkan sangat mungkin, selain kelima alat bukti tersebut
ditambah dengan data elektronik, khusus mengenai pembuktian cyber crime perlu
ditambahkan alat bukti pengetahuan hakim. Artinya, hakim yang mengadili
perkara-perkara tersebut, sedikit – banyaknya menguasai atau setidak-tidaknya
mengetahui perihal cyber space.
6. Berkaitan
negatief wettelijk bewijs theorie atau hakim terikat pada alat bukti
menurut undang-undang secara negatif . Hakekat dari teori pembuktian yang
didasarkan pada pembuktian berganda
yaitu antara alat bukti dan keyakinan, bukanlah sesuatu yang mudah, maka untuk
membuktikan kejahatan yang sulit pembuktiannya, jangan menggunakan dasar
pembuktian yang sulit. Dalam rangka mempermudah pembukian terhadap cyber
crime, maka dasar pembuktian yang sebaiknya digunakan adalah conviction
intime atau setidaknya conviction raisonee. Conviction intime artinya
untuk menjatuhkan putusan, hakim hanya berdasar pada keyakinan semata tanpa
dipengaruhi alat bukti. Sementara conviction raisonne berarti dasar
pembuktian adalah keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang
logis. Pembuktian ini memberi keleluasaan kepada hakim untuk menggunakan
alat-alat bukti secara bebas disertai dengan alasan. Dengan demikian bewijs
minimum yang ditentukan dalam KUHAP, bahwa hakim dalam memidana terdakwa
minimal harus di dukung dua alat bukti, menjadi tidak relevan.
7. Masih berkaitan dengan pembuktian, khusus perihal bewijslast
atau beban pembuktian, kiranya perlu dipikirkan kemungkinan diterapkan omkering
van bewijslast atau pembuktian terbalik untuk kasus-kasus cyber crime yang
sulit pembuktiannya. Hakekat dari pembuktian terbalik ini adalah si terdakwa
harus bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan
kepadanya. Paling tidak omkering van bewijslast ini digunakan untuk
mengadili para carder yang berbelanja dengan menggunakan kartu kredit
orang lain secara melawan hukum.
8. Berdasarkan hasil penelitian, selain pembaharuan terhadap
hukum pidana matriil dan formil, juga dibutuhkan badan khusus untuk
menanggulangi cyber crime. Dalam badan khusus tersebut termasuk penyidik
khusus untuk melakukan investigasi bahkan sampai pada tahap penuntutan. Di
samping itu pula pelatihan perihal cyber space kepada aparat penegak hukum
mutlak dilakukan. Sebab, tidaklah mungkin seorang hakim menolak perkara dengan
alasan tidak ada atau tidak tau hukumnya. Sudah merupakan postulat dasar dalam
ilmu hukum yang dikenal dengan adagium ius curia novit. Artinya, seorang
hakim dinaggap tau akan hukumnya.